Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan menyebutkan,
Pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD1945 menyatakan, bahwa (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dalam kontek ini, ada dua hal yang dapat dipahami; pertama, secara internum negara tidak masuk dalam wilayah keyaninan umat beragama seperti adanya perbedaan agama dan keyakinan umat dalam menjalankan ajaran agama masing-masing; kedua, secara ekternum negara hanya menjadi fasilitator agar umat dapat merayakan perbedaan keyakinan umat.
"Jadi terhadap perbedaan Hari Raya 1 Syawal 1444 H, sebaiknya pemerintah membolehkan pemakaian sarana lapangan dalam melaksanakan salat Idulfitri pada 21 atau 22 April 2023," kata dia, dalam keterangan resminya, Senin (17/4).
Oleh karena itu, sebagai aparat negara, di mana tugas pemerintah dalam hal yang terkait dengan pelaksanaan ibadah Idhulfitri tahun ini, sudah sepatutnya menjamin pelaksanaan ibadah tersebut agar bisa berjalan dengan baik dan lancar.
Amirsyah menegaskan, tidak boleh ada dikotomi pada metode hisab dan rukyat. Pasalnya, kedua metode ini, sama-sama ada dalam Al Qur'an dan hadis.
"Jadi semestinya, bila kita mengacu kepada konstitusi, maka pemerintah tidak boleh ikut menentukan hasil mana yang akan dipakai. Tetapi menyerahkan urusan tersebut kepada para pemeluk dari agama Islam itu sendiri," ucap dia.
Pemerintah sebaiknya netral dan tidak berpihak kepada salah satunya karena menyangkut internum atau keyakinan internal umat beragama .
Tugas pemerintah cukup sebagai fasilitator, yakni memberitahu kepada umat Islam kalau Idulfitri tidak sama. Mereka yang mempergunakan hisab, telah menentukan 1 Syawal jatuh pada Jumat, 21 April. Sehingga mereka akan salat Idulfitri di hari dan tanggal tersebut. Sementara yang mempergunakan rukyat, kemungkinan melaksanakan salat Idulfitri pada Sabtu, 22 April 2023.